Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2025

Luka Yang Akhirnya Berbicara

Amarah ini meledak, bukan karena aku ingin— tapi karena dada ini tak lagi sanggup membendung gelombang yang terus mengempas. Aku telah mencoba menjadi tenang. Menjadi telaga yang memantulkan langit. Tapi entah bagaimana, badai itu datang, menggulung semua ketenangan yang susah payah aku bangun. Ini bukan tentang ingin marah. Ini tentang luka yang terlalu lama diam. Tentang suara yang dipaksa bungkam. Tentang sabar yang pelan-pelan habis, dijemput oleh kecewa. Aku tidak ingin menjadi bara. Tak ingin menjadi ledakan yang melukai. Tapi kadang, diam pun bisa berubah jadi racun yang membakar dari dalam. Amarahku bukan panggilan untuk perang. Tapi jeritan hati yang tak tahu lagi cara lain untuk didengar. Dalam dentuman emosiku, ada tangis yang tersembunyi. Dalam bentakan yang mungkin menyakitkan, ada rindu akan pengertian yang tak pernah datang. Jangan hanya lihat apinya— lihat juga tanganku yang terbakar. Jangan hanya dengar suaraku yang meninggi— dengarlah jiwaku yang sedang memohon untuk ...

Penanti Dalam Tenang

Banyak orang mengira mereka ingin menikah, padahal sebenarnya mereka hanya ingin dicintai, dimengerti, atau mungkin sekadar tidak ingin merasa sendirian. Tapi untukmu, pernikahan bukanlah tujuan… melainkan perjalanan. Dan kamu tahu, perjalanan itu tak boleh dimulai dengan tergesa. Jangan biarkan suara orang lain menentukan kapan kamu harus melangkah. Hidup ini bukan perlombaan. Setiap orang punya waktunya sendiri. Menikah bukan tentang mengikuti jadwal yang dibuat dunia, tapi tentang menemukan seseorang yang tepat — seseorang yang membuatmu merasa dihargai, dikagumi, dihormati, dan dicintai dengan sepenuh hati. Jangan takut terlambat menikah. Takutlah jika kamu terburu-buru dan akhirnya berjalan seumur hidup dengan orang yang salah. Karena hidup bersama seseorang itu bukan perkara sebentar. Menikahlah saat hatimu siap. Bukan karena usia, tekanan, atau omongan orang. Karena pada akhirnya, lebih baik menunggu dengan tenang… daripada bergegas dan menyesal.

Dalam Diam Aku Menemukan Kekuatan

Lembutkanlah hatiku, karena di dalamnya ada retak yang tersembunyi—tak terlihat, tak terjamah, dan tak dimengerti oleh siapa pun. Aku berusaha meyakinkan diri bahwa aku bisa melewati semua ini, meskipun perlahan. Aku ingin seseorang yang memberi ruang untuk menangis, tanpa terburu-buru menenangkan atau memberi nasihat. Seseorang yang tak menghakimi luka yang kubawa, cukup duduk di sampingku dan menjadi pelabuhan yang tenang. Aku ingin seseorang yang tak bertanya apa-apa, yang hanya tahu ada tangis yang ingin kulepaskan. Dalam hening, aku ingin ditemukan, tanpa perlu berjuang menyembunyikan luka yang tersisa. Aku ingin ruang yang tak dipenuhi kata, hanya kehadiran yang bisa kurasakan dalam diam. Tempat di mana air mata tak perlu dijelaskan, hanya diterima dengan penuh pengertian. Kadang, aku hanya butuh dilihat dalam keheningan, tanpa rasa takut dihakimi atau ditinggalkan. Karena di balik setiap tangis yang jatuh, tersembunyi kekuatan yang diam-diam menyembuhkan luka.

Sepi Yang Menjadi Rumah

Sepi tidak pernah datang tiba-tiba. Ia tumbuh perlahan, menjelma menjadi selimut yang kian hari semakin erat membungkus. Aku terbiasa dengannya— membiarkannya menyusup ke dalam ruang-ruang kosong di dada. Dulu, aku melawan, mencari suara, mencari cahaya. Tapi kini, aku hanya diam, membiarkan sepi menjadi rumah tempatku berlindung. Aku berjalan di antara manusia, mendengar tawa mereka menggema, namun tak satu pun benar-benar sampai ke telingaku. Seakan ada dinding tipis yang memisahkan, membuatku melihat semuanya, tapi tak benar-benar merasakannya. Seperti berdiri di balik kaca, menyaksikan hidup berjalan— tanpa bisa menyentuhnya. Mungkin sepi ini bukan musuh, melainkan bagian dari diri yang harus kupahami. Mungkin, bukan tentang mencari suara, tapi menerima keheningan sebagai bagian dari perjalanan. Dan jika suatu hari aku lelah tinggal di sini, aku berharap— masih ada jalan keluar, atau tangan yang bersedia menuntunku pulang.

Suara Yang Tak Pernah Di dengar

Aku pernah berada di satu titik—titik paling melelahkan, di mana aku harus memilih: terus berjalan mengikuti arah tujuan atau berhenti di tempat yang membuatku muak, tapi entah kenapa terasa akrab. Dan pada akhirnya, gadis kecil ini memilih berhenti. Bukan karena lelah berjalan, tapi karena harapan terasa terlalu asing. Ia memilih diam dan menikmati drama yang membosankan, berdiri di antara keramaian, namun merasa seperti tak pernah benar-benar ada. Ia terbiasa tidak bersuara, karena sejak kecil tak pernah diajarkan untuk bicara. Bersuara dianggap melawan. Berpendapat dianggap durhaka. Lalu gadis kecil itu memilih duduk diam di ujung tembok, menyembunyikan semua kegelisahan di balik tatapan kosong. Keluh kesahnya tak pernah didengar. Tak pernah dianggap penting. Ia hanya dikenal sebagai si pembuat onar, si pemberontak, gadis nakal yang selalu dibandingkan—dan tak pernah cukup baik. Ejekan, bentakan, makian… menjadi makanan sehari-harinya. Ia dianggap ada, tapi tak benar-benar dihirauka...

Diam Dalam Gerak Waktu

Hari-hari terus berlalu, seperti langit yang berganti warna tanpa henti. Orang-orang datang dan pergi, hidup mereka berkembang. Sementara aku… hanya duduk dalam ketidakpastian yang semakin dalam. Aku tidak berhenti, tapi juga tak melangkah maju. Waktu terus melaju, namun aku masih terjebak dalam detik yang sama. Tergantung— di antara apa yang sudah berlalu, dan apa yang belum pernah datang. Aku tak tahu lagi, apa yang hilang dari diriku. Mengapa terasa kosong, meski semua sudah berlalu? Setiap langkah seperti mengulang yang sama. Dan setiap harapan seolah terperangkap di dalam tanah yang tak pernah cukup subur untuk tumbuh. Aku ingin berlari, tapi kaki ini terlalu berat. Jiwaku pun kelelahan untuk sekadar melawan. Semalam aku terjaga. Memikirkan hidup yang dulu, mimpi-mimpi yang besar, yang kini hanyalah serpihan berterbangan di angin. Bukan karena aku tak ingin berubah. Aku hanya… tak tahu bagaimana caranya. Dunia terus berputar. Terlalu cepat, terlalu jauh. Seperti film tanpa suara y...

Refleksi 20+

Usia 20 hingga 30 tahun sering kali dipenuhi dengan kegelisahan, kegagalan, dan pencarian makna. Itu adalah masa di mana kita membuat banyak kesalahan, mencoba hal-hal baru, dan berusaha memahami siapa diri kita sebenarnya. Namun, justru dari kesalahan-kesalahan itu kita belajar, bertumbuh, dan menemukan arah hidup yang lebih jelas. Pernahkah kamu bertanya pada dirimu sendiri, apa yang membuatmu bangun setiap pagi? Bagi sebagian orang, keluarga adalah alasan terbesar untuk sukses. Meskipun definisi sukses berbeda bagi setiap orang, satu hal yang pasti—kita berjuang untuk sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri. Kadang-kadang, bahkan saat kita belum tahu apa yang kita inginkan, kita tetap bangun pagi, mencoba melakukan hal-hal kecil seperti membaca buku, menonton podcast, atau belajar sesuatu yang baru. Di dalam diri kita, ada dorongan untuk terus maju, meski jalannya belum sepenuhnya jelas. Meskipun kadang terasa berat, kita tetap berusaha karena ada harapan di ujung jalan. Set...

Lautan Tanpa Nama

Jiwa yang lama kehilangan arah, bagai lautan tanpa nama. Asa melambung tinggi, meninggalkan cangkang kosong di belakangnya. Entah ke mana harus melangkah, entah jalan mana yang harus kutempuh—semua tampak semu, bagai aksara yang perlahan memudar dari lembar hidupku. Sekian lama kaki ini menapaki pasir waktu, namun tak juga kutemukan tujuan. Semakin jauh kutinggalkan jejak, semakin pekat bayangan yang diam-diam merengkuhku dari belakang. Apa yang menanti di depan sana? Pertanyaan itu bergaung, berkecamuk dalam dada, berulang-ulang tanpa pernah menemukan jawaban. Ia berputar di sudut amigdala, bersemayam dalam ruang sunyi jiwa yang tak pernah benar-benar tenang. Apa sebenarnya tujuan hidup ini? Aku bertanya, bukan untuk mendapat kepastian, tapi agar rasa hampa ini tak terus membusuk dalam diam. Mungkin aku hanya ingin tahu—apakah ada arti dari semua langkah atau aku hanya sedang tenggelam dalam labirin yang tak berujung.

Bukan Sembuh Tapi Menerima

Sembuh itu bukan tujuan. Ia hanya ilusi yang terlalu sering dijanjikan—seolah semua luka bisa disembuhkan, seolah waktu selalu cukup untuk menghapus jejak perih. Padahal, aku tidak sedang mencari obat. Aku tidak butuh janji bahwa semuanya akan baik-baik saja. Yang aku butuhkan hanyalah ruang. Ruang untuk bernapas, meski napas itu berat. Ruang untuk merasa sakit, tanpa harus segera bangkit. Ruang untuk mengakui bahwa tidak apa-apa jika hari ini belum kuat. Jangan paksa dirimu tersenyum hanya untuk terlihat baik-baik saja. Biarkan air mata bicara saat hatimu tak mampu menyuarakan luka. Jangan paksa lukamu sembuh sebelum ia sempat bercerita. Biarkan ia menjadi bagian dari perjalananmu—bagian yang menyakitkan, tapi nyata. Aku sudah lelah berharap. Biarlah luka ini perlahan mengikis harapan demi harapan, sampai yang tersisa hanya keheningan dan aku yang duduk diam, menerima. Karena aku sadar, tidak semua luka harus hilang. Tidak semua kehilangan bisa digantikan. Dan tidak semua kesedihan ha...

Dalam Sunyi, Kamu Tetap Tumbuh

Ada luka-luka kecil yang tak pernah memilih untuk terlihat, hanya berdetak pelan di balik senyum yang dipaksakan. Ada doa-doa sunyi yang gugur di dalam dada, berdesakan mencari tempat pulang, namun tak pernah sempat diucapkan. Kadang, dunia terasa terlalu bising untuk sekadar menangis, terlalu sepi untuk benar-benar didengarkan. Tapi di antara retakan-retakan itu, jiwa tetap berusaha berdiri— memungut serpihan harapan dari tanah yang dingin, menggenggamnya erat, seolah seluruh musim bisa ditiupkan kembali ke dalam dada. Tidak apa-apa jika langkahmu berat, tidak apa-apa jika matamu basah. Dalam sunyi, kamu tetap tumbuh. Dalam pecah, kamu tetap utuh.

Perjalanan Ke Surga

Aku sering dengar kalimat ini: "Tenang aja, semua umat Islam itu pada akhirnya masuk surga kok." Awalnya terasa menenangkan. Tapi makin ke sini… kalimat itu justru bikin resah. Karena muncul pertanyaan yang pelan-pelan menusuk: "Kalau nanti juga ke surga, ya udah dong… ngapain capek-capek taat?" "Kalau neraka cuma sementara, apa salahnya tersesat sebentar?" Dan tanpa sadar, ini bisa jadi jebakan. Bukan karena kalimat itu salah, tapi karena cara kita menelannya yang keliru. Memang benar, Rasulullah ï·º bersabda: “Barang siapa yang di hatinya terdapat iman sebesar biji dzarrah, maka ia akan masuk surga.” (HR. Bukhari-Muslim) Tapi... kapan dia masuk surga? Setelah apa? Setelah berapa lama ditimbang amalnya, disucikan dosanya, bahkan... mungkin dibakar dulu? Apa kita yakin siap? Siap ditatap tajam oleh Allah atas semua maksiat kecil yang kita anggap sepele? Siap mempertanggungjawabkan setiap bisik, lirikan, dan postingan? “Jangan pernah merasa aman dari azab All...

Maaf Tanpa Kembali

Ada luka-luka yang terlalu dalam untuk sembuh hanya dengan kata "maaf." Ada hati yang sudah terlalu remuk karena disakiti, meskipun katanya itu "tidak disengaja." Tapi bagiku, ketidaksengajaan pun tetap melukai, apalagi jika terjadi berkali-kali. Maka dari itu, aku belajar memaafkan bukan karena aku melupakan, tapi karena aku ingin melanjutkan hidup tanpa membawa beban yang terus-menerus memberatkan langkahku. Aku memaafkan. Bukan karena kamu layak mendapatkannya, tapi karena aku layak untuk tenang. Tapi meski begitu, bukan berarti aku ingin berjumpa lagi. Bukan berarti aku ingin segala sesuatu kembali seperti dulu, seolah tak pernah ada air mata yang jatuh, atau hati yang hancur karena perbuatanmu—baik sengaja atau tidak sengaja. Karena bagiku, kehadiranmu terlalu identik dengan luka. Dan aku sedang belajar hidup tanpa rasa sakit itu lagi. Aku pernah memberi kesempatan. Berkali-kali. Dengan harapan kamu bisa memahami bahwa hatiku juga punya batas. Tapi nyatanya, ya...

Pelukan Yang Tak Menghakimi

Malam seringkali terasa seperti pelarianku yang terakhir—saat dunia menjadi terlalu keras, dan aku menjadi terlalu rapuh. Di antara bayangan yang bergelayut di dinding, aku hanya ingin satu hal yang tak pernah kupinta dengan suara: sebuah pelukan. Pelukan yang tidak bertanya mengapa mataku sembab, kenapa suaraku gemetar, atau mengapa aku sulit berkata. Aku ingin dipeluk seperti langit memeluk malam—dengan sabar, dengan sunyi, dengan penerimaan yang tidak mengharuskan aku baik-baik saja. Aku lelah menjelaskan luka yang bahkan tak kumengerti. Lelah mendengar suara-suara di kepalaku yang tak kunjung diam. Aku hanya ingin seseorang duduk di sebelahku, memelukku, dan membiarkanku pecah… dalam tenang. Tak perlu janji. Tak perlu, “semua akan baik-baik saja.” Cukup kehadiran yang tulus. Cukup kehangatan yang tidak menghakimi. Karena kadang, pelukan bisa lebih menyembuhkan daripada seribu kata penghiburan. Dan malam ini, aku hanya ingin menjadi seseorang yang tak perlu kuat dulu. Yang tak harus...

Terbiasa Dalam Sepi

Tidak ada yang benar-benar peduli pada lukamu. Kamu sendirian—tanpa siapa pun. Dan karena itu, Aku selalu berkata pada diriku sendiri: Jangan pedulikan orang lain. Langkah terus ke depan. Jangan pernah bergantung pada siapa pun. Tapi… Aku tak tahu, Apakah itu benar-benar kata-kata dari dalam diriku, Atau hanya tameng agar aku bisa bertahan? Kadang terasa kosong. Sangat kosong. Aku ingin menata semuanya kembali, Tapi berat sekali. Dan pada akhirnya, Yang bisa aku lakukan hanyalah... terbiasa. Terbiasa dengan sepi. Terbiasa dengan luka. Terbiasa merasa tak punya siapa-siapa. Aku membiarkan diriku larut dalam kekosongan. Lalu menyesuaikan diri—hidup bersama sepi, seolah-olah itu rumahku.

Fajar Di Ujung Lorong

Langkah kecil itu menyusuri lorong-lorong sunyi, menapaki lantai retak yang pernah menjadi saksi serpihan masa lalu. Setiap napas mengendap di udara dingin, seperti kabut yang tak kunjung sirna. Matahari bersinar samar di kejauhan— menjadi satu-satunya janji bahwa jalan ini, segelap apa pun, tetap memiliki ujung. Tak ada peta, hanya keyakinan samar yang menggenggam erat ujung jubah harapan. Semesta terasa berat di pundak yang nyaris rapuh, namun tetap menapak— meski terseok, meski dunia enggan memberi ruang. Luka-luka lama bernyanyi dalam bisu, berbaur dengan detak jantung yang mencoba berdamai. Bukan tentang melupakan, melainkan tentang memeluk pecahan itu dan tetap memilih bergerak, walau tiap gerakan menggores luka baru di dalam dada. Dalam gelap yang mencekam, cahaya kecil itu menyalak— mungkin tak cukup mengusir malam, namun cukup untuk menyalakan bara dalam jiwa. Setiap luka menjadi tato perjalanan, membentuk pola rumit tentang keberanian yang tak pernah terucap. Tak ada sorak so...

Gerimis Di Mata, Badai Di Dada

Ada sunyi yang tak perlu suara untuk menyakitkan—ia menetap di mataku, menari pelan dalam gelap yang tak bernama. Ada dingin yang tak berasal dari cuaca, tapi dari dalam dada yang kelelahan, menyelinap diam-diam lalu bersarang. Aku diam bukan karena tak ingin bicara, tapi karena semua kata terasa hampa. Tak lagi ada makna dalam setiap kalimat, karena terlalu sering tertelan oleh kenyataan yang tak berpihak. Dunia terasa begitu bising, namun aku tetap sendiri. Banyak langkah melintas, tapi tak satu pun menuju ke arahku. Aku hadir di tengah keramaian, tapi keberadaanku nyaris tak terlihat. Seolah udara pun tak mengenalku, dan cahaya tak lagi tahu bagaimana caranya singgah. Aku terjebak di antara dua keinginan— ingin bertahan, tapi juga ingin menyerah. Mata ini masih terbuka, tapi tak benar-benar melihat. Bukan karena tangisan, melainkan luka yang perlahan menghapus warna dari pandanganku. Aku ingin bicara… tapi lidahku kelu. Karena dunia ini lebih pandai merayakan tawa,...

Belajar Memaafkan

Belajarlah memaafkan orang tuamu. Masa kecilmu yang pernah dibuat retak oleh keduanya, tidak harus terus kamu genggam dengan amarah saat dewasa. Tamballah luka itu, bukan dengan dendam, melainkan dengan penerimaan. Kamu harus tahu— saat kamu mulai memilih fokus pada hal-hal yang membuatmu tenang, luka itu perlahan reda. Bukan karena hilang, tapi karena kamu berhenti menyiksanya. Ikhlaskan, jangan lagi menyiksa dirimu sendiri dengan sumpah serapah dadakan yang tak pernah menyembuhkan. Jujurlah pada hatimu sendiri: yang kamu inginkan bukanlah perang, tapi kedamaian yang tidak pernah kamu temukan di masa kecilmu. Jika menurutmu mereka gagal menjalankan peran, ambil pelajarannya dalam diam. Jika tawa tak pernah ada di rumahmu dulu, pastikan saat kamu jadi orang tua kelak, kamu membangun rumah dengan pelukan yang hangat dan kasih yang tidak bersyarat. Memaafkan bukan berarti melupakan. Tapi itu satu-satunya jalan agar hidupmu tidak terus diusik oleh penyesalan.

Damai

Tuhan, bolehkah aku meminta rasa damai? Tenangkan hatiku dari hal-hal yang tidak bisa kupahami, Lapangkan dadaku untuk menerima takdir yang sedang berjalan ini. Sejujurnya, banyak luka yang kupendam dalam diam, Ada kesedihan yang tak bisa aku ceritakan kepada siapa pun, Ada trauma yang bekasnya belum juga hilang, Dan ada sesak yang kupeluk sendiri tanpa tahu kepada siapa harus kuceritakan. Mungkin dari luar aku tampak tenang, Tapi di dalam, ada pertempuran yang terus kuhadapi dalam diam. Mungkin aku terlihat baik-baik saja, Padahal setiap malam aku sibuk merangkai diriku yang sedang berantakan. Aku belajar tersenyum di siang hari, Namun menangis diam-diam saat malam tiba. Aku belajar menguatkan orang lain, Sambil diam-diam mencari cara untuk menyembuhkan diriku sendiri. Pada akhirnya, Yang paling bisa memahami dan sepenuhnya kupercaya hanyalah diri. Dan Tuhan… yang diam-diam kuceritai lewat doa-doa panjang yang tak terdengar siapa pun. Semoga selalu kutemukan alasan-alasan kecil untuk ...

Serpihan Diri Yang Tersisa

Pernahkah kamu menatap cermin dan merasa asing pada bayangan yang terlihat? Itulah yang aku rasakan hari ini. Bukan karena aku tak mengenal wajahku, tapi karena pantulan itu tak lagi menggambarkan siapa aku sebenarnya. Wajah itu tampak retak dalam pecahan kaca, sama seperti perasaanku yang perlahan kehilangan bentuk. Aku mencoba merangkai ulang serpihan-serpihan yang tersisa, tapi justru semakin aku mencoba mendekat, semakin dalam luka yang kudapat. Mungkin aku sudah lama hancur, hanya saja terlalu pandai berpura-pura. Senyum yang kulukis di wajah bukan tanda bahagia, tapi tameng agar tak ada yang tahu seberapa rapuh aku sebenarnya. Di balik tawa yang terdengar ringan, ada tangis yang tak sempat bersuara. Aku berusaha utuh di hadapan dunia, padahal dalam diam aku telah lama retak. Kadang aku bertanya pada diriku sendiri—bagian mana dari aku yang masih nyata? Atau apakah aku hanyalah ilusi, terjebak dalam pantulan cermin, berusaha menemukan arti dari luka yang tak kunjung sembuh? Dan di...