Luka Yang Akhirnya Berbicara
Amarah ini meledak, bukan karena aku ingin— tapi karena dada ini tak lagi sanggup membendung gelombang yang terus mengempas. Aku telah mencoba menjadi tenang. Menjadi telaga yang memantulkan langit. Tapi entah bagaimana, badai itu datang, menggulung semua ketenangan yang susah payah aku bangun. Ini bukan tentang ingin marah. Ini tentang luka yang terlalu lama diam. Tentang suara yang dipaksa bungkam. Tentang sabar yang pelan-pelan habis, dijemput oleh kecewa. Aku tidak ingin menjadi bara. Tak ingin menjadi ledakan yang melukai. Tapi kadang, diam pun bisa berubah jadi racun yang membakar dari dalam. Amarahku bukan panggilan untuk perang. Tapi jeritan hati yang tak tahu lagi cara lain untuk didengar. Dalam dentuman emosiku, ada tangis yang tersembunyi. Dalam bentakan yang mungkin menyakitkan, ada rindu akan pengertian yang tak pernah datang. Jangan hanya lihat apinya— lihat juga tanganku yang terbakar. Jangan hanya dengar suaraku yang meninggi— dengarlah jiwaku yang sedang memohon untuk ...