Luka Yang Akhirnya Berbicara
Amarah ini meledak,
bukan karena aku ingin—
tapi karena dada ini
tak lagi sanggup membendung gelombang
yang terus mengempas.
Aku telah mencoba menjadi tenang.
Menjadi telaga yang memantulkan langit.
Tapi entah bagaimana,
badai itu datang,
menggulung semua ketenangan
yang susah payah aku bangun.
Ini bukan tentang ingin marah.
Ini tentang luka yang terlalu lama diam.
Tentang suara yang dipaksa bungkam.
Tentang sabar yang pelan-pelan habis,
dijemput oleh kecewa.
Aku tidak ingin menjadi bara.
Tak ingin menjadi ledakan yang melukai.
Tapi kadang,
diam pun bisa berubah
jadi racun yang membakar dari dalam.
Amarahku bukan panggilan untuk perang.
Tapi jeritan hati
yang tak tahu lagi
cara lain untuk didengar.
Dalam dentuman emosiku,
ada tangis yang tersembunyi.
Dalam bentakan yang mungkin menyakitkan,
ada rindu akan pengertian
yang tak pernah datang.
Jangan hanya lihat apinya—
lihat juga tanganku yang terbakar.
Jangan hanya dengar suaraku yang meninggi—
dengarlah jiwaku
yang sedang memohon untuk dimengerti.
Aku sedang kehilangan kendali
atas badai yang tak aku undang.
Sedang mencoba menyelamatkan diriku
dari tenggelam
dalam luka yang tak pernah sembuh.
Jadi, maafkan jika aku meledak,
meski itu bukan yang kuinginkan.
Karena kadang,
manusia hanya bisa bertahan sampai titik tertentu—
dan setelahnya,
hanya ada luapan yang tak terbendung.
Komentar
Posting Komentar