Sepi Yang Menjadi Rumah

Sepi tidak pernah datang tiba-tiba.
Ia tumbuh perlahan,
menjelma menjadi selimut
yang kian hari
semakin erat membungkus.

Aku terbiasa dengannya—
membiarkannya menyusup ke dalam
ruang-ruang kosong di dada.

Dulu, aku melawan,
mencari suara,
mencari cahaya.

Tapi kini,
aku hanya diam,
membiarkan sepi
menjadi rumah
tempatku berlindung.

Aku berjalan di antara manusia,
mendengar tawa mereka menggema,
namun tak satu pun
benar-benar sampai ke telingaku.

Seakan ada dinding tipis
yang memisahkan,
membuatku melihat semuanya,
tapi tak benar-benar merasakannya.

Seperti berdiri di balik kaca,
menyaksikan hidup berjalan—
tanpa bisa menyentuhnya.

Mungkin sepi ini bukan musuh,
melainkan bagian dari diri
yang harus kupahami.

Mungkin,
bukan tentang mencari suara,
tapi menerima keheningan
sebagai bagian dari perjalanan.

Dan jika suatu hari
aku lelah tinggal di sini,
aku berharap—
masih ada jalan keluar,
atau tangan
yang bersedia menuntunku pulang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kembali Tersenyum

Sosok Yang Aku Tunggu

Titik Akhir Berpasrah: Aku Pamit