Suara Yang Tak Pernah Di dengar

Aku pernah berada di satu titik—titik paling melelahkan, di mana aku harus memilih: terus berjalan mengikuti arah tujuan atau berhenti di tempat yang membuatku muak, tapi entah kenapa terasa akrab.

Dan pada akhirnya, gadis kecil ini memilih berhenti. Bukan karena lelah berjalan, tapi karena harapan terasa terlalu asing. Ia memilih diam dan menikmati drama yang membosankan, berdiri di antara keramaian, namun merasa seperti tak pernah benar-benar ada. Ia terbiasa tidak bersuara, karena sejak kecil tak pernah diajarkan untuk bicara. Bersuara dianggap melawan. Berpendapat dianggap durhaka.

Lalu gadis kecil itu memilih duduk diam di ujung tembok, menyembunyikan semua kegelisahan di balik tatapan kosong. Keluh kesahnya tak pernah didengar. Tak pernah dianggap penting. Ia hanya dikenal sebagai si pembuat onar, si pemberontak, gadis nakal yang selalu dibandingkan—dan tak pernah cukup baik.

Ejekan, bentakan, makian… menjadi makanan sehari-harinya. Ia dianggap ada, tapi tak benar-benar dihiraukan. Raganya hidup, tapi jiwanya... mungkin sudah lama mati. Lalu, bagaimana bisa ia bersuara?

Bagaimana bisa ia berbicara, jika setiap kalimat yang keluar dari mulutnya selalu dianggap salah? Setiap pengakuan dipatahkan. Setiap kebenaran ditolak. Ia hanya gadis kecil yang ingin dimengerti,
bukan dibungkam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kembali Tersenyum

Sosok Yang Aku Tunggu

Titik Akhir Berpasrah: Aku Pamit