Fajar Di Ujung Lorong
Langkah kecil itu
menyusuri lorong-lorong sunyi,
menapaki lantai retak
yang pernah menjadi saksi
serpihan masa lalu.
Setiap napas mengendap di udara dingin,
seperti kabut
yang tak kunjung sirna.
Matahari bersinar samar di kejauhan—
menjadi satu-satunya janji
bahwa jalan ini,
segelap apa pun,
tetap memiliki ujung.
Tak ada peta,
hanya keyakinan samar
yang menggenggam erat
ujung jubah harapan.
Semesta terasa berat
di pundak yang nyaris rapuh,
namun tetap menapak—
meski terseok,
meski dunia enggan memberi ruang.
Luka-luka lama bernyanyi dalam bisu,
berbaur dengan detak jantung
yang mencoba berdamai.
Bukan tentang melupakan,
melainkan tentang memeluk pecahan itu
dan tetap memilih bergerak,
walau tiap gerakan
menggores luka baru di dalam dada.
Dalam gelap yang mencekam,
cahaya kecil itu menyalak—
mungkin tak cukup mengusir malam,
namun cukup
untuk menyalakan bara dalam jiwa.
Setiap luka menjadi tato perjalanan,
membentuk pola rumit
tentang keberanian
yang tak pernah terucap.
Tak ada sorak sorai kemenangan—
hanya hening panjang
yang dipenuhi tekad
untuk tidak menyerah.
Lantai basah oleh jejak perjuangan,
tapi tidak ada langkah yang sia-sia.
Setiap gemetar,
setiap tangis yang diam-diam jatuh,
adalah puisi
yang hanya bisa dibaca
oleh hati yang pernah patah,
namun tetap memilih mencintai hidup.
Bukan kekuatan besar
yang membuat perjalanan ini agung,
melainkan keberanian kecil
untuk tetap melangkah
saat dunia menginginkan rebah.
Dan di ujung lorong itu,
tak ada kembang api
atau perayaan megah.
Hanya fajar,
yang perlahan menjamah
sudut-sudut gelap.
Sebuah bukti sunyi—
bahwa bertahan,
meski tanpa saksi,
adalah bentuk kemenangan
paling murni
yang pernah dilukiskan semesta.
Komentar
Posting Komentar