Gerimis Di Mata, Badai Di Dada
Ada sunyi yang tak perlu suara untuk menyakitkan—ia menetap di mataku, menari pelan dalam gelap yang tak bernama. Ada dingin yang tak berasal dari cuaca, tapi dari dalam dada yang kelelahan, menyelinap diam-diam lalu bersarang.
Aku diam bukan karena tak ingin bicara,
tapi karena semua kata terasa hampa.
Tak lagi ada makna dalam setiap kalimat,
karena terlalu sering tertelan oleh kenyataan yang tak berpihak.
Dunia terasa begitu bising,
namun aku tetap sendiri.
Banyak langkah melintas, tapi tak satu pun menuju ke arahku.
Aku hadir di tengah keramaian,
tapi keberadaanku nyaris tak terlihat.
Seolah udara pun tak mengenalku,
dan cahaya tak lagi tahu bagaimana caranya singgah.
Aku terjebak di antara dua keinginan—
ingin bertahan, tapi juga ingin menyerah.
Mata ini masih terbuka, tapi tak benar-benar melihat.
Bukan karena tangisan,
melainkan luka yang perlahan menghapus warna dari pandanganku.
Aku ingin bicara… tapi lidahku kelu.
Karena dunia ini lebih pandai merayakan tawa,
dibanding mengerti arti dari sebuah tangis yang tertahan.
Mungkin aku cuma rintik kecil di tengah badai—tak terlihat, tak terdengar, tak dianggap.
Mungkin aku adalah senyap yang tak pernah benar-benar hadir,
tapi tetap tinggal dalam ingatan.
Tapi satu hal yang kutahu pasti—
di balik wajah yang tenang ini,
ada hati yang terus berteriak.
Ada jiwa yang ingin pulang…
meski tak tahu ke mana arah pulangnya.
Komentar
Posting Komentar