Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2025

Sudut Pandang

Untuk diriku sendiri, dan untuk kamu yang tak sengaja menemukan tulisan ini. Sudut pandang adalah sesuatu yang tak terlihat, tapi mampu membentuk segalanya — cara kita menilai, cara kita mencintai, bahkan cara kita bertahan. Kadang kita terlalu percaya pada apa yang mata lihat, padahal tak semua yang nyata bisa diukur dengan logika. Ada hal-hal yang hanya bisa dipahami dengan hati, dan hanya bisa dirasakan bila kita berani membuka ruang untuk melihat dari sisi yang berbeda. Aku pernah, bahkan sering, mengira bahwa pemahamanku tentang dunia adalah yang paling mendekati kebenaran. Aku merasa orang lain yang salah — terlalu rumit, terlalu berlebihan, terlalu lemah. Tapi semakin waktu berjalan, semakin banyak luka yang aku lihat, semakin banyak cerita yang diam-diam mengalir dalam diam seseorang... aku sadar: aku tidak tahu apa-apa. Aku hanya tahu versiku sendiri. Dan itu belum cukup untuk menilai hidup orang lain. Kita tidak tau apa yang seseorang sembunyikan di balik senyumnya. Bisa jadi...

Sunyi Yang Tak Terlihat

Aku duduk diam, seolah dunia baik-baik saja. Senyum tipis terpasang, meski hati retak di dalam dada. Langit terlihat biru, tapi dadaku mendung. Seseorang bertanya, “Kamu kuat, kan?” Aku hanya angguk, tak berani jujur. Setiap langkahku menapak di jalan sepi, bukan karena tak ada orang, tapi karena aku sendiri. Pura-pura tenang itu seni yang melelahkan— menahan tangis agar tak tumpah, padahal jiwa hampir patah. Mereka lihat aku tenang, bahkan terkadang bahagia. Tak tahu di balik itu, ada luka yang menggila. Rasanya seperti bernapas dalam air— hidup, tapi sesak. Dan tak seorang pun sadar. Lalu malam datang... Dan hanya bantal yang tahu betapa keras aku mencoba bertahan. Aku tidak ingin dikasihani, aku hanya ingin dipahami. Bahwa di balik “aku baik-baik saja,” ada seseorang yang hanya ingin diberi ruang untuk tidak kuat.

Maaf

Aku tidak punya keluarga yang sebaik keluargamu. Sebelum kamu datang, aku apa-apa sendiri. Aku lebih milih simpan cerita sendiri, dibanding ceritain ke orang lain, bahkan ke keluargaku sendiri. Tapi sejak ada kamu, aku kayak nemuin kepingan diriku yang hilang. Aku bisa ngerasain lagi gimana rasanya semangat jalanin hari-hari, walaupun kadang capek, tapi ada kamu yang bikin aku mau terus maju. Aku mau bilang terima kasih... Terima kasih karena kamu masih ada di hari-hariku, meski kadang kita berantem, meski kamu sering diemin aku, sering bilang aku gak sayang kamu. Tapi sebenarnya, perasaan aku gak pernah berubah sedikitpun ke kamu. Kalau boleh jujur, aku malah makin pengen terus sama kamu. Makin pengen jadi versi terbaik dari diriku… buat kamu. Maaf kalau kemarin aku benar-benar bikin kamu kecewa. Tapi ketahuilah... apa yang kamu lihat, gak selalu seperti yang kamu bayangkan. Aku menjagamu dengan caraku, mungkin bukan yang sempurna, tapi sungguh dari hati. Kamu selalu ada di pikiranku,...

Pelukan yg Tak Terlihat, Tapi Paling Nyata

Ya Allah... Engkau yang paling tahu isi dadaku, bahkan tanpa aku perlu menjelaskan apa-apa. Aku lelah. Dunia ini ramai, tapi terasa hampa. Banyak wajah, tapi sedikit yang benar-benar bisa jadi tempat pulang. Aku sering kali tersenyum, tapi hatiku gemetar. Aku terlihat kuat, padahal langkahku sudah seret karena beban yang hanya aku dan Engkau tau. Aku... tidak punya siapa-siapa selain Engkau. Tidak ada akses, tidak ada ruang khusus selain sajadah yang basah oleh air mataku sendiri. Kalau orang lain bertanya kenapa aku diam, aku hanya bisa menjawab, "gak apa-apa". Padahal Engkau tau, Ya Allah... aku sedang berjuang agar tidak hancur seluruhnya. There are nights when I cry silently, talking to You in the most broken form of myself. I know You hear me, even when no sound escapes my lips. And during those quiet, sacred thirds of the night, I drag my body to You — not because I'm strong, but because I'm afraid of losing my way. This world is loud, harsh, fast... and sometim...

Jika Sembuh Itu Nyata

Aku benci diriku yang penuh dengan denial, seolah tidak menganggap seseorang ada, padahal aku sangat takut kehilangan. Aku benci diriku yang penuh trust issue dan trauma, membuat aku kerap ragu akan perasaan maupun sikap baik seseorang, membuat aku menerawang jauh bagaimana peristiwa kehilangan itu akan terjadi dan kembali menyakiti. Aku benci diriku yang seolah tidak bersyukur atas semua hal yang aku miliki, hanya karena aku tidak mengerti bagaimana bersikap atas sesuatu yang sebenarnya nyata untukku tetapi seolah perasaan semu yang ku rasakan. Yang kini ku pahami, segala bentuk kehilangan yang aku alami, jika ku telaah lebih dalam lagi, semuanya karena diriku sendiri. Percayalah, aku juga tidak mengerti mengapa aku seperti ini, mengapa diriku tidak bisa untuk benar-benar hidup pada sesuatu yang nyata dan menikmati hal-hal bahagia. Aku terlalu didominasi oleh perasaan takut, hingga aku tidak menyadari banyak hal yang sia-sia dan bahkan kerap menyia-nyiakan seseorang yang sudah bersedi...

Keberanian

Salah satu sikap yang paling mahal dan paling berat dimiliki oleh seorang hamba bukanlah ilmu yang tinggi atau lisan yang fasih. Tapi hati yang masih sanggup membungkuk... lalu menengok ke dalam dirinya sendiri. Karena ternyata, mengintrospeksi diri itu bukan sekadar mengingat kesalahan, tapi berani menguliti luka yang kita tutupi rapat-rapat. Jujur pada diri sendiri itu mahal, karena yang paling sering kita dustai... adalah hati kita sendiri. Ada satu hal yang jarang disadari: muhasabah itu bukan tentang rasa bersalah semata, tapi tentang keberanian untuk memperbaiki. Di saat banyak orang sibuk menilai luar, hanya sedikit yang mau membersihkan dalam. Padahal, seindah-indahnya penampilan, kalau tak disertai perbaikan jiwa... maka kosong. Pernah nggak sih kamu ngerasa udah berubah, tapi ternyata masih banyak sisi dalam diri yang berkarat? That's where real growth begins. When you're brave enough to say, "Maybe I was wrong. And that's okay, I'm willing to change....

Kemana Aku Harus Pulang

Ada lelah yang tak bisa diceritakan, tenggelam dalam jeda napas yang sunyi. Ada tangis yang tak sanggup jatuh, tertahan di ujung mata yang terlalu sering basah. Aku diam… namun jiwaku berteriak, mencari pelarian dari luka yang terus menghujam tanpa jeda. Bukan sembuh yang aku pinta… hanya jeda. Dari hidup yang kian sesak. Dari rasa yang tak kunjung reda. Tolong… ajak aku pergi walau sebentar, ke tempat di mana tawa tak terdengar seperti dusta. Ke tempat di mana beban tak ikut menempel di bahu, hingga aku bisa lupa... bahwa hidupku sudah sehancur ini. Bahkan keluarga… yang dulu kupanggil “tempat pulang”, justru menjadi luka yang paling dalam. Rumah yang kuharap menjadi pelindung, kini jadi tempat yang paling ingin kutinggalkan. Lalu… ke mana kaki ini harus melangkah? Ke mana hati ini bisa bersandar? Di mana bisa kuobati luka yang tak tampak ini? Ke mana… aku harus pulang?

Tumbuh Sambil Pulih

Tumbuh dan pulih, dua kata yang terdengar mirip, tapi jalannya berbeda. Tumbuh itu soal keberanian menjejak, soal mengarah, soal mendaki. Tapi pulih adalah tentang berhenti sejenak, dan menangis sebentar. Bukan karena lemah, tapi karena kita akhirnya sadar: ada luka yang tak bisa kita paksa sembuh hanya dengan semangat. So I asked myself, "Can I grow while I'm still bleeding?" dan hati kecilku jawab, "You can try, but why not heal first?" Mungkin... pulih dulu bukan berarti mundur. Pulih adalah bentuk paling lembut dari maju. Dan kalau kamu mampu tumbuh sambil pulih — that's a miracle. Tapi kalau kamu belum sanggup, it's okay to rest first. Beneran, gak dosa kok kalau kamu milih sembuh dulu daripada terlihat hebat di mata dunia. Pulih itu juga... nggak selalu tentang lupa. Kadang, kita nggak butuh lupa. Kita hanya perlu damai dengan ingatan yang dulu menyakitkan. Dan berdamai bukan berarti setuju — tapi mengikhlaskan. Mengikhlaskan bahwa "I don'...

Pesan Terakhir

Jika suatu hari nanti aku pergi meninggalkan dunia ini, aku harap kata-kata ini sampai kepadamu... yang pernah hadir dalam hidupku. Aku tahu, aku bukan manusia yang sempurna. Banyak salah dan silap yang mungkin telah aku lakukan. Mungkin ada kata-kataku yang menyakitkan, mungkin ada perlakuanku yang mengecewakan, dan mungkin... ada masa-masa di mana aku gagal menjadi insan yang baik untuk kamu semua. Sejujurnya, aku tidak pernah berniat menyakiti siapa pun. Tapi aku hanya manusia biasa — penuh kelemahan dan sering terleka. Jika sepanjang aku hidup, ada luka yang tertinggal di hatimu karena aku, aku mohon... maafkan aku. Maafkan aku dari lubuk hati yang paling dalam. Jika nanti aku sudah tiada, jangan tangisi kepergianku. Doakan aku, itu saja yang aku harapkan. Doakan agar aku diberi ketenangan di sana, agar segala dosa-dosaku diampuni oleh Allah. Ingatlah aku bukan dengan tangisan, tapi dengan doa dan kenangan yang baik. Simpanlah yang indah-indah tentang aku, dan buanglah yang menyaki...

Lukau Aku Sekali Lagi

Aku berdiri di ambang luka yang belum sempat mengering, menatap bayanganmu yang masih tersisa di sela-sela kenangan. Satu per satu, kata-kata manis yang dulu menghangatkan, kini berubah jadi serpihan tajam—menusuk tanpa ampun. Tapi anehnya, aku tidak pergi. Aku tetap di sini. Menunggumu. Mengharapkan hadirmu. Meski kutau, kau mungkin datang membawa luka yang baru. "Lukai aku sekali lagi..." Bisikku pelan. Bukan karena aku haus derita, tapi karena di setiap luka darimu, masih tersisa rasa yang membuatku merasa hidup— meski dengan napas yang tersengal. Aku tau, ini bukan cinta yang sehat. Tapi inilah satu-satunya cinta yang aku kenal. Dan jika kau datang lagi, membawa janji palsu atau senyum semu, jangan ragu temui aku di batas kesakitan ini. Karena mungkin, dengan satu luka lagi, aku akan benar-benar sembuh atau sepenuhnya hancur. Tapi kali ini, aku siap. Lukai aku sekali lagi. Dan biarkan ini menjadi yang terakhir.

Laut Yang Tenang

Pernah lihat laut di pagi hari? Tenang. Biru. Damai. Permukaannya hampir tidak bergelombang, seolah dunia sedang baik-baik saja. Tapi siapa yang tahu apa yang terjadi di dalamnya? Bisa jadi ada arus yang mengamuk, pusaran mematikan, atau makhluk-makhluk yang menyimpan ribuan kisah sedih sejak zaman dahulu. Laut itu terlihat damai, tapi menyimpan begitu banyak rahasia. Laut itu pintar sekali berpura-pura tidak apa-apa. Tapi ini bukan tentang laut. Ini tentang manusia. Tentang mereka yang tampak baik-baik saja hanya karena masih bisa tersenyum. Tentang orang-orang yang selalu ada untuk semua, tapi tidak pernah benar-benar bercerita tentang dirinya sendiri. Mereka yang berkata, “nggak apa-apa kok,” padahal di dalam hatinya sedang kacau. Mereka yang kamu pikir kuat, padahal setiap malam tidur dengan air mata yang ditahan. Ada orang-orang yang begitu pintar menyembunyikan badai dalam dirinya. Mereka tetap hadir, tetap menguatkan, tetap tersenyum—meski jiwanya sedang kosong. Dunia sering ter...

Sangkar Luka dan Bisik Sunyi

Ada sudut gelap yang selalu jadi tempat pelarianku—dari dunia yang kian kehilangan empati. Bisikan lirih terus menggema di sudut-sudut sepi, seperti suara yang perlahan menggerogoti kewarasan. Otakku tak pernah berhenti memutar ulang kejadian menyakitkan. Kenangan buruk itu datang tanpa diundang, menyesakkan dada, mengunci langkah. Setiap malam, aku hanya bisa merintih, berdoa, berharap—pada siapa saja yang sudi mendengar. Tapi tak satu pun tangan datang menyambut. Tak ada cahaya yang muncul. Hanya sunyi. Hanya gelap. Hanya bisikku sendiri yang akhirnya hilang ditelan ruang kosong. Aku masih di sini—terbelenggu oleh luka, terkurung dalam sangkar kenangan yang tak pernah sembuh. Dan aku bertanya: Sampai kapan, semesta? Haruskah aku terus menjalani ini seorang diri?

Ambil Yang Baik, Buang Yang Buruk

Ini bukan sekadar ungkapan—tapi prinsip hidup yang akan menuntun kita dalam setiap langkah. Dalam menjalani hidup, kita dihadapkan pada pilihan-pilihan setiap hari. Dari apa yang kita makan, kata yang kita ucapkan, hingga siapa yang kita izinkan hadir dalam hidup kita—semuanya membentuk siapa kita nantinya. Maka, kita perlu memilih dengan hati-hati: ambillah yang menyehatkan jiwa, tinggalkan yang merusaknya. Begitu pula dalam menuntut ilmu. Tidak semua yang terlihat cemerlang membawa kebaikan. Kita harus mampu membedakan mana ilmu yang mengangkat derajat dan mana yang justru menjauhkan dari kebenaran. Tapi pertanyaannya: bagaimana kita bisa tahu mana yang baik dan mana yang buruk? Jawabannya: dengan ilmu dan kehati-hatian. Tanpa dasar yang kuat, kita akan mudah terjebak dalam kabut kebingungan, bahkan bisa terjerumus pada pemikiran yang menyesatkan. Lihatlah bagaimana Imam Ahmad—yang hafal sejuta hadits—masih memilih untuk menutup telinganya dari pemikiran yang keliru. Maka bagaimana d...

Berjalan Tanpa Arah

Saya merasa hancur, remuk, dan kehilangan segalanya. Patah hati ini datang begitu mendalam, sampai saya tak mengerti kenapa ini bisa terjadi. Saat itu, bahkan untuk makan pun terasa mustahil. Nasi yang saya ambil hanya saya pandangi, lalu saya biarkan dingin dan akhirnya basi. Tenggorokan saya terasa tertutup, seakan tubuh saya menolak bertahan. Saya mengurung diri di kamar, berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Cahaya matahari yang masuk terasa mengganggu, suara orang-orang di luar kamar membuat saya semakin muak. Tidur tak memberi ketenangan, dan bangun hanya membuat saya terjatuh lagi ke dalam kenyataan yang menyesakkan. Setelah berpikir, mungkin saya perlu keluar. Mungkin udara luar bisa memberi sedikit ketenangan, atau mungkin dengan berjalan lebih jauh saya bisa melupakan semua ini. Saya mencoba, sungguh saya berusaha. Saya pergi ke tempat-tempat tanpa jejakmu, berbaur dengan orang-orang yang tak mengenal saya, duduk di bangku taman hingga larut malam, berjalan tanpa tujuan, ber...

Pahitnya Menjadi Dewasa

Kukira, menjadi dewasa adalah tentang kebebasan dan bahagia. Namun setelah kucicipi, nyatanya ia pahit—pahit yang tak bisa kutolak. Bisakah waktu berbaik hati, membawaku pulang ke masa kecil? Ke masa di mana hanya tawa yang kukenal, sebelum dunia menunjukkan wajah aslinya yang kejam. Terkadang aku ingin menghilang. Meninggalkan dunia yang kian menyesakkan, berkelana tanpa tujuan, hingga kutemukan tempat di mana jiwaku tak lagi gemetar ketakutan. Aku lelah. Lelah menghadapi getirnya hidup, lelah menerima luka demi luka yang semesta jatuhkan tanpa ampun, seolah aku tak pantas bahagia.

Bertahan, Meski Dunia Tak Ramah

Siapa bilang aku tidak pernah muak dengan hidupku? Siapa bilang aku tak pernah menangis sejadi-jadinya, karena kehilangan yang paling kucintai? Siapa bilang hidupku berjalan mulus, tanpa sesak dan luka? Ketahuilah, aku juga manusia—sama sepertimu. Ada hari di mana aku terjun bebas ke jurang kegagalan, berhari-hari terkurung di kamar, tak ingin bicara, hanya diam dengan air mata yang tak kunjung kering. Aku pernah kehilangan orang yang begitu aku sayangi, diremehkan oleh keluarga sendiri dan berdiri di persimpangan hidup yang terasa kosong. Hingga pada titik itu... aku hidup, tapi hatiku mati. Mataku terbuka, tapi dunia yang kulihat hanyalah gelap. Dan aku hanya bisa bertanya kepada Tuhan: "Mengapa aku yang harus merasakan semua ini?" Namun waktu berlalu. Dan perlahan aku mulai mengerti. Ternyata dari luka-luka itulah aku tumbuh. Ternyata dari kehilangan itulah aku belajar menemukan kembali diriku. Hari ini, jika kau melihatku tampak tenang, ketahuilah… untuk sampai ke titik i...