Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2025

Raga Tanpa Jiwa

Aku berjalan di antara detik-detik waktu, meninggalkan jejak yang perlahan menghilang, seperti tak pernah benar-benar ada. Hari-hari berlalu tanpa suara, tapi kekosongan itu… terus terasa nyata. Sudah lama tak ada getar rasa, seolah hati ini berhenti merasakan. Harapan pun menguap tanpa sisa, dan aku hanya berjalan… tanpa arah, tanpa tujuan, menyusuri dunia dengan tubuh yang kosong. Kadang aku bertanya—kapan semua ini berakhir? Sebab jiwaku sudah lama pergi, meninggalkan ragaku yang kini kelelahan. Kapan aku boleh benar-benar berhenti? Bukan karena menyerah, tapi karena sudah terlalu lama bertahan dalam kehampaan yang sunyi.

Doa Diujung Harapan

Di harapan terakhirku tentang hati, aku hanya ingin satu hal: mencintai dengan tenang. Aku selalu berdoa, semoga setelah semua luka dan lelah, Allah mempertemukanku dengan seseorang yang mampu meneduhkan jiwaku hanya dengan senyuman dan sorot matanya. Aku ingin mencintainya tanpa ragu, dan dia pun mencintaiku tanpa syarat. Aku menjaga segala tentang dirinya, dan dia menjaga segala tentangku. Kami saling melengkapi, bukan sempurna, tapi cukup untuk saling memahami dan tumbuh bersama. Aku ingin seseorang yang mau mendengar saat diberi nasihat, dan tak sungkan menasihati dengan lembut saat aku keliru. Bukan untuk menggurui, tapi karena dia ingin aku tetap berada di jalan yang baik. Aku juga ingin menjadi sosok yang begitu untuknya. Meskipun hari ini aku belum tahu siapa dia, aku yakin Allah telah mempersiapkannya dengan sebaik-baiknya. Seseorang yang tak datang tergesa, tapi hadir pada waktu yang tepat. Semoga jatuh hati yang selanjutnya, adalah jatuh hati yang Allah ridhoi. Dan kali ini,...

Terbelenggu

Rantai mengikat setiap jengkal tubuh ini— mengulur, melilit, menggenggam tanpa belas kasih. Hari demi hari, lilitannya semakin erat. Membungkam langkah, menahan napas. Bekasnya tercetak, bukan hanya di kulit— tapi jauh lebih dalam. Jejak-jejak tak kasatmata yang menyesakkan dada. Semakin aku berusaha melonggarkan, semakin erat ia mencengkeram. Seakan aku tak boleh lepas, seakan aku harus tetap tunduk. Sesak. Sakit. Muak. Bisikan-bisikan itu tak pernah hening, menyelinap dalam mimpi, menghantui saat terjaga. Namun... di tengah gelap yang pekat, masih ada setitik cahaya yang berkedip— lemah, tapi belum padam. Berharap. Menanti. Entah sampai kapan.

Kesendirian

“Mereka yang menyukai kesendirian, namun tidak merasa kesepian, adalah orang-orang yang telah menemukan Tuhan.” – Maulana Jalaluddin Rumi – Ada yang sunyi, namun tak pernah sepi. Seperti langit malam yang tampak hening, namun sesungguhnya ia sedang berbicara dengan bintang-bintang. Begitulah jiwa yang telah menemukan Tuhannya—kesendirian tak lagi menjadi lorong gelap, melainkan taman cahaya tempat rindu berpulang. Mereka tidak mencari pelarian dari dunia, melainkan sedang kembali kepada Sang Pemilik Waktu. Kesendirian bagi mereka bukan pengasingan, tetapi penyucian. Seperti embun yang memilih turun ketika dunia tidur, begitu pula ruh yang mendekap sunyi agar dapat lebih jernih mendengar bisikan-Nya. Dalam keheningan, mereka merasakan semesta menyapa, dan Tuhan berbicara dalam bahasa yang tak terucap, namun sangat terasa. Tak ada luka dalam hening mereka, sebab sunyi telah menjadi samudra yang menenangkan. Jiwa mereka tidak diikat oleh keramaian, sebab hatinya telah terpaut pada yang Ma...

Terjebak Dalam Pikiran Sendiri

Ada lelah yang tak bisa sekadar ditidurkan, dan sesak yang tak tahu harus tumpah ke mana. Rasanya seperti dunia terus bergerak cepat, sementara aku diam di tempat—terjebak dalam labirin pikiranku sendiri. Aku coba mencari jalan keluar, tapi semakin aku melangkah, semakin dalam aku tersesat. Malam-malam terasa begitu panjang, tapi mata ini enggan tertutup. Terlalu banyak suara di kepala, terlalu banyak perasaan yang berebut ruang, semua ingin dimengerti, semua ingin didengar. Aku hanya ingin tenang. Tapi pikiranku seperti laut yang tak pernah berhenti bergelombang—selalu datang dengan ombak baru, membawa resah yang makin dalam dan makin sulit diredakan. Mungkin ini cuma fase. Mungkin besok aku akan merasa lebih baik. Tapi… bagaimana kalau tidak? Bagaimana kalau ini bukan sementara, melainkan lingkaran tanpa ujung, tempat di mana aku terus berputar, tanpa tahu arah, tanpa tahu kapan bisa keluar? Aku ingin berhenti sebentar saja. Tarik napas panjang tanpa harus memikirkan apapun. Tapi dun...

Tak Perlu Di bandingkan

Setiap orang berjalan di jalan yang berbeda. Jalan yang tak selalu lurus dan cerah, tapi berkelok, berbayang, dengan cahaya yang datang dan pergi. Dan itulah hidup — tak melulu terang, tapi tak juga selalu gelap. Karena terang, gelap, dan remang-remang adalah bagian dari lukisan hidup yang utuh. Jangan bandingkan jalanmu dengan jejak siapa pun. Your journey is not a copy. It's an original masterpiece. Penuh warna, rasa, dan cerita yang hanya kamu sendiri yang tahu kedalamannya. Apa yang tampak lambat bagimu, bisa jadi adalah proses paling penting dalam hidupmu. Apa yang tampak kecil bagi orang lain, bisa jadi adalah pencapaian besar bagi hatimu sendiri. Tak perlu meniru siapa pun. Tak perlu mengejar bayangan mereka yang berjalan lebih dulu. Karena setiap langkahmu punya nilai yang hanya bisa diukur oleh hatimu sendiri. When you stop chasing shadows of others, you start to see the light within yourself. Kunci dari perjalanan ini bukan soal siapa yang sudah sampai di mana, Tapi seber...

Bertahan, Meski Terlihat Sulit

Langit malam meredup dalam diam, menggantungkan kelam tanpa bintang. Di sudut kamar, seseorang menatap kosong ke arah jendela yang tertutup tirai lusuh. Pikiran-pikirannya berserakan seperti pecahan kaca—melukai dirinya sendiri. Ia merasa seperti beban yang terlalu berat untuk dipikul dunia, seolah keberadaannya hanya menyisakan jejak yang tak diinginkan. Tapi benarkah demikian? Ataukah itu hanya suara-suara dalam kepalanya yang menjerat dalam kesedihan tak berkesudahan? Di luar sana, dunia tetap berputar. Ada yang menunggu kehadirannya—meski ia merasa tak diharapkan. Ia mungkin tak sadar, tapi langkahnya pernah menjadi sandaran bagi seseorang. Tawanya yang dulu, meski kini meredup, pernah menjadi cahaya bagi mereka yang mencintainya. Namun saat ini, semuanya terasa abu-abu. Ia merasa tak ada satu pun yang peduli. Tapi benarkah? Atau hanya karena ia tak mampu lagi melihat bentuk kasih yang tak selalu diucapkan? Kita sering terjebak pada anggapan bahwa cinta harus selalu terasa nyata da...

Sangkar Emas, Jiwa Yang Ingin Terbang

Hinggap, lalu menimbulkan keraguan dalam jiwanya. Ia merasa buta untuk membaca kenyataan, bisu untuk bersuara. Hingga akhirnya, ia keluar dari alur cerita hidupnya sendiri. Ia ingin mengajukan protes, tapi terlalu enggan untuk bersuara. Bibirnya hanya terkatup rapat, dan tangis pilu menjadi satu-satunya suara yang menjerit di dalam diam. Tangis yang menyayat hati, seperti ribuan anak panah yang menembus jiwa rapuhnya tanpa ampun. Ia terus bertanya dalam hati: Apakah aku pantas menerima ribuan duri ini setiap hari? Tak pantaskah aku untuk hidup dengan tenang, merasakan damai walau sesaat? Dunia seakan ikut bermain dalam drama hidupnya. Dan batinnya... mulai lelah. Bahkan semesta pun tampak enggan berpihak padanya. Ia memandang sangkar emas milik Tuan-nya—begitu megah dari luar, seakan penuh tawa, kehangatan, dan perlindungan. Namun kenyataannya, hanya ada siksa yang dalam, sunyi yang menggema, dan luka yang tak pernah berhenti menganga. Ia bertahan dalam tubuh yang dulu ringkih, tapi ki...

Mereka

Mereka tahu apa tentang dirimu? mereka hanya menyerca mu tanpa bertanya, mereka lah ombak yang menghantam batu, tak pernah merisaukan kepedihan akibatnya. Mereka… Apa yang mereka mengerti? selama ini kau menghapus jejak perih sendiri, kau jahit luka mu sendiri, kau sendirian mencabut duri dari jalan mu dengan jemari. Mengapa kau peduli tentang mereka? tak sedetik pun mereka ada, tak lengah sedikit pun mereka menghina. Lantas apa yang kau harap dari mereka? Memahami dirimu? menyeka air mata mu? Menghapus luka mu? sungguh, mereka tak akan mampu. Aku benci kalian, benci bagaimana kalian selalu menyalahkanku, seolah setiap kesalahan hanya milikku. Benci bagaimana kalian memaksaku, tanpa pernah bertanya, apakah aku sanggup? Apakah aku baik-baik saja? Aku sungguh benci kalian! Aku benci, benci, benci! Kenapa harus aku? Kenapa selalu aku yang dipersalahkan? Apa aku begitu mudah untuk disudutkan? Apa aku tidak punya hak untuk didengar? Aku lelah. Aku ingin berteriak, ingin pergi, ingin menghil...

Pelukan Yang Kupinta Dalam Diri

Aku bukan siapa-siapa—hanya seorang gadis yang selalu menggantung harap pada langit yang tak pernah lelah mendengarku. Bukan karena tak ingin berbagi, tapi karena hatiku terlalu penuh. Kata-kata selalu kesulitan menemukan jalan keluar. Saat sedih datang tanpa permisi, saat kecewa mengetuk tanpa aba-aba, aku menelannya sendiri—tanpa suara, tanpa air mata yang terlihat dunia. Hanya Tuhan yang tahu, betapa sesaknya dada saat aku tersenyum, sementara hati ini berdesak-desakan dengan luka yang kupeluk diam-diam. Aku bukan tempat untuk berbagi duka, karena aku lebih memilih menjadi sandaran bagi mereka yang tak tahu harus bersandar pada siapa. Biarlah aku menjadi telinga, tempat cerita-cerita orang lain bernaung, sementara ceritaku sendiri kubisikkan pelan pada senja dan sajadah yang diam. Aku bersandar pada diriku sendiri, karena hanya aku yang tahu seberapa dalam aku tenggelam, dan bagaimana aku terus belajar berenang—meski tak ada yang melihat aku nyaris karam. Dan dalam doa yang tak bers...

Aku Yang Memeluk Diriku Sendiri

Patah mana yang tak kupulihkan sendiri, saat dunia hanya menuntutku tegar tanpa peduli bagaimana aku bertahan. Luka demi luka kupeluk dalam diam, sambil perlahan belajar mencintai diriku yang sedang hancur, retak—namun tak pernah benar-benar utuh. Mereka melihat senyumku, namun tak pernah tahu pertempuran yang kusembunyikan di balik dada yang nyaris meledak oleh sesak. Aku berjalan dengan hati yang lelah, namun tetap berdiri meski setiap langkahku serasa menapaki puing-puing. Menangis tanpa suara, meratap dalam jiwa yang nyaris mati rasa. Napas terasa sempit, seolah dunia pun enggan memberiku ruang untuk sekadar menenangkan luka. Dan pada akhirnya, jika bukan aku, siapa lagi yang akan memeluk hatiku sendiri? Saat semua memilih pergi, justru ketika aku paling membutuhkan.