Sangkar Emas, Jiwa Yang Ingin Terbang

Hinggap, lalu menimbulkan keraguan dalam jiwanya. Ia merasa buta untuk membaca kenyataan, bisu untuk bersuara. Hingga akhirnya, ia keluar dari alur cerita hidupnya sendiri.

Ia ingin mengajukan protes, tapi terlalu enggan untuk bersuara. Bibirnya hanya terkatup rapat, dan tangis pilu menjadi satu-satunya suara yang menjerit di dalam diam. Tangis yang menyayat hati, seperti ribuan anak panah yang menembus jiwa rapuhnya tanpa ampun.

Ia terus bertanya dalam hati:
Apakah aku pantas menerima ribuan duri ini setiap hari? Tak pantaskah aku untuk hidup dengan tenang, merasakan damai walau sesaat? Dunia seakan ikut bermain dalam drama hidupnya. Dan batinnya... mulai lelah.

Bahkan semesta pun tampak enggan berpihak padanya. Ia memandang sangkar emas milik Tuan-nya—begitu megah dari luar, seakan penuh tawa, kehangatan, dan perlindungan. Namun kenyataannya, hanya ada siksa yang dalam, sunyi yang menggema, dan luka yang tak pernah berhenti menganga.

Ia bertahan dalam tubuh yang dulu ringkih,
tapi kini perlahan belajar untuk tegap berdiri. Tubuh itu menjadi tempat bersandar—menyambut jiwa baru yang lahir dari luka-luka lama.

Dan ia pun berharap, bisa terbang bebas seperti burung di langit luas. Meninggalkan sangkar emas yang mengikatnya, rantai yang perlahan melukai, dan dinding-dinding yang menyimpan terlalu banyak tangisan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kembali Tersenyum

Sosok Yang Aku Tunggu

Titik Akhir Berpasrah: Aku Pamit