Aku Hanya Punya Aku
Yang lahir dari sepi,
dibesarkan oleh kehilangan,
diasuh oleh luka-luka yang tak kunjung mati.
Tanganku bukan tangan ibu.
Pundakku bukan bahu ayah.
Jemariku hanya kabut dingin yang menyeka pipi sendiri.
Aku hanya punya aku.
Yang memeluk raga kecilku, seperti reruntuhan merangkul debu.
Aku menggigil di dalam tubuh sendiri,
mengais hangat yang tak pernah ada.
Aku berbicara, aku menjawab,
tetapi suara-suara itu hanya gema,
menampar sunyi — lalu lenyap.
Aku hanya punya aku —
yang berdiri di tepi malam,
menatap jurang tanpa dasar,
bertanya pada bayangan sendiri:
Haruskah aku melompat?
Atau…
Sudah mati sejak lama, hanya lupa bagaimana caranya berhenti?
Aku hanya punya aku,
ya8ng berdoa pada langit bisu,
memohon belas kasih yang tak turun-turun.
Tuhan terlalu jauh,
dan aku terlalu hancur untuk dijangkau.
Aku hanya punya aku.
Dan itu,
tak pernah cukup.
Tapi jika suatu hari, aku memilih untuk tetap bangun,
meski tanpa peluk, tanpa sandaran, tanpa nama yang kupanggil,
itu bukan karena aku kuat —
tapi karena aku tak punya pilihan lain selain terus hidup.
Dan mungkin, pada akhirnya...
memiliki diri sendiri, walau remuk dan tak utuh, adalah bentuk lain dari keberanian yang tidak dikenali siapa-siapa.
Aku hanya punya aku.
Dan meski itu tak pernah cukup —
hari ini aku masih di sini.
Masih ada aku.
Itu saja… dulu.
Komentar
Posting Komentar