Memutuskan Untuk Menjadi Santri
Dulu, aku pernah berharap pertemuan yang akan datang itu bisa dirayakan dengan senyum mengembang, secangkir kopi, dan puisi-puisi indah. Tapi, apa yang datang justru rasa sakit yang terus menggerogoti hati, sebuah kehilangan yang tak kunjung hilang.
Perlahan, aku mulai berbenah. Di Bandung, aku kembali mengikuti kajian yang dulu sempat kutinggalkan, dan mulai aktif di organisasi keislaman yang sempat terabaikan karena terlalu sibuk urusan dunia. Aku coba mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa, agar tak ada lagi sekat antara aku dan-Nya.
Aku masih ingat betul, betapa lama aku menangis dalam setiap salatku. Tapi, sekarang aku mulai sadar, semua rasa sakit dan kehilangan itu adalah bagian dari jalan yang telah digariskan untukku. Dengan izin-Nya, aku yakin aku akan menjadi perempuan hebat, yang cemerlang dalam segala hal.
Pada Agustus 2019, seorang lelaki datang lewat sebuah surat di emailku. Kami kenal lewat perantara teman. Sebelumnya sudah banyak yang datang, bahkan ada yang sampai nekat datang ke rumah, tapi entah kenapa hatiku tetap menutup. Namun, ada yang berbeda dengan lelaki ini. Aku bisa dengan mudah memberinya jawaban.
Aku sempat berpikir, mungkin dia adalah jodoh yang Tuhan persiapkan untukku. Aku melihat diri dalam dirinya, dalam versi yang lebih baik. Seolah Allah memudahkan semuanya. Aku sudah melakukan istikharah beberapa kali, dan hatiku memang merasa condong kepadanya. Aku berdiskusi dengan orang tua, dan anehnya, mereka langsung setuju. Padahal, kami beda pulau. Tapi untuk dia, orang tuaku langsung memberi izin.
Kami mulai merencanakan masa depan bersama, mulai dari pekerjaan, pendidikan, hingga hal-hal sepele seperti warna cat untuk rumah impian kami. Semua terasa begitu sempurna.
Namun, seiring berjalannya waktu, kami merasa seperti ada yang hilang. Kami masih jauh dari pernikahan, mungkin satu atau dua tahun lagi, tapi kami berdua merasa kosong. Kami memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Mungkin ini yang terbaik, karena kami sedang dalam proses memperbaiki diri dan memperkuat iman.
Aku tak mau merusak akhlaknya dengan hubungan yang belum semestinya, seperti aku yang juga berusaha menjaga akhlakku sendiri.
Ya Allah, terima kasih telah selalu menerima aku, dalam keadaan terbaik maupun terburukku. Meskipun aku tahu aku masih jauh dari sosok yang Kau harapkan, tapi Kau selalu memberi petunjuk, selalu menunjukkan jalan, dan selalu ada di setiap langkahku.
"Setelah babak belur karena kehilangan dan patah hati, akhirnya aku memutuskan untuk menjadi seorang santri."
Satu hal yang membuatku memilih hijrah adalah karena aku ingin belajar menjadi hamba yang yakin—yakin bahwa takdir yang Allah tetapkan untukku pasti berbeda dengan takdir orang lain, dan apa yang tidak untukku, tidak akan pernah aku dapatkan.
Di pesantren, aku nggak cuma belajar agama, tapi juga belajar banyak hal lain. Belajar berwirausaha, berkuda, memanah, bela diri, dan baris berbaris. Kami dilatih untuk menjadi muslim yang tangguh dan kuat.
Terima kasih untuk lelaki yang telah menjaga cintanya dengan mulia. Terima kasih karena kamu menjaga dirimu dan diriku dengan doa, karena aku tahu, sekecil apapun dosa, tetap akan menambah beban di hati.
Terima kasih karena kamu melepaskanku untuk menjadi seorang santri yang siap untuk dunia dan akhirat. Terima kasih sudah memberi aku waktu untuk fokus tidak hanya pada urusan dunia, tapi juga menyiapkan diri menjadi madrasah terbaik untuk anak-anak kita nanti.
Aku mendoakanmu, semoga kamu juga menemukan yang terbaik, dan perempuan yang kamu cintai akan semakin peka dengan waktu.
Komentar
Posting Komentar