Sebuah Perjalanan Mengikhlaskan

Karena kedewasaan itu tentang pemahaman, proses dan juga penerimaan tentang segala bentuk takdir yang sudah disiapkan Tuhan. Kalau ditanya setiap orang akan punya jawaban berbeda-beda jika ditanya tentang arti kedewasaan. Saya sendiri mengartikan dewasa sebagai pemahaman, proses dan juga penerimaan.

Takdir, baik atau buruk, menurut ukuran manusia sangat relatif. Karena manusia tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya sedang direncanakan Tuhan. Maka kemudian manusia membuat kesimpulan berdasarkan versinya masing-masing. Dan kemudian menyalahkan langit.

Urusan kehilangan, misalnya. Entahlah, tapi saya meyakini bahwa manusia normal mana pun akan sedih, terpuruk, takut, hampa dan juga bertanya kenapa takdir begitu kejam mengambil orang yang disayangi. Tidak bisakah Engkau memberi kesempatan padanya untuk lebih lama? Tidak bisakah Engkau sembuhkan saja sakitnya dan bukan malah memanggilnya kembali kepadaMu?

Tidak bisakah Engkau memberinya kesempatan untuk meneruskan semua mimpinya? Kenapa Tuhan, kenapa? Tuhan bahkan lebih dari tahu bahwa Engkau teramat menyayanginya dan bahkan Tuhan tahu bahwa kau menitipkan sebagian kebahagiaan pada seseorang itu. Tapi toh Tuhan tetap memanggil seseorang itu kembali, bukan?

Kau ingin marah? Menyumpah langit dan seluruh takdir yang sudah tertulis di lauhul mahfudz? Tidak ada yang lebih percuma selain menyumpahi takdir. Berharap segalanya berjalan sesuai dengan keinginanmu? Manusia terlalu bebal untuk mengerti banyak hal. Terlalu egois berkesimpulan sebelum benar-benar paham, padahal pengetahuannya hanya seujung kuku. Saya tahu bagaimana rasanya kehilangan.

Kehilangan satu dari tiga orientasi hidup saya. Entah bagaimana saya menggambarkan perasaan saya kala itu. Saya hanya bisa berbisik lemah di telinga mama saya yang akhirnya direnggut takdir setelah 5 hari berjuang di ICU. Berbisik bahwa kita akan bertemu kembali di surgaNya. Sekuatnya menahan air mata agar tidak tumpah.

Hari itu orang-orang silih berganti datang ke rumah, turut berduka. Satu dua bertanya, satu dua hanya diam dan lebih banyak lagi yang menyayangkan kepergian mama saya. Jika orang lain saja seolah tidak percaya atas kepergian mama saya, apalagi saya, bapak, dan adik? Kami dengan berat hati kala itu merelakan. Meraba-raba makna ‘ikhlas’ yang sesungguhnya. Meneguhkan hati menerima segalanya.

Yang paling hancur tentu saja bapak saya. Lelaki paling hebat, paling kuat, paling bisa diandalkan. Beliau dengan sabarnya, meskipun lelah, meskipun kesal, meskipun tidak tahu lagi apakah masih ada harapan bagi kesembuhan mama saya tapi tetap merawat mama saya dengan begitu telatennya.

Lembut dan bersahaja dalam kesederhanaannya namun menyimpan ketabahan luar biasa. Kurang lebih seperti itulah lelaki yang menjadi ayah saya.

Saat mama saya sudah sepenuhnya kehilangan kesadaran diri, saya masih berharap banyak hal. Saya masih berharap keajaiban akan datang. Sama seperti sebelumnya, saya berharap keajaiban kali ini datang lebih besar. Saya masih percaya mama saya akan kembali membuka matanya dan memanggil saya untuk mengambilkan minum. Saya masih percaya mama saya akan bangun kembali dan saya akan membawanya berjalan-jalan keluar rumah.

Saya masih percaya mama saya akan sehat kembali. Saya masih percaya bahwa segalanya tetap akan baik-baik saja. Dan tidak ada pihak yang pergi dan tinggalkan. Tapi saya keliru, sungguh sangat keliru. Seluruh keyakinan itu pupus saat dengan mata kepala saya sendiri saya menyaksikan tarikan nafas terakhir mama saya. saat terakhir setetes air matanya keluar dari matanya yang sempurna tertutup. Melepaskan kepergiannya dan mengalah pada takdir yang memang sudah usai baginya. Entah apa yang saya rasakan saat itu.

"Sesak, hampa, seperti ada lubang besar dan dalam yang tiba-tiba terbuka dalam diri saya. Senyap, disekitar saya jadi senyap. Hampa sekali sampai saya merasakan sakit. Hampa menyakitkan. Ada ruang kosong yang sedemikian besar menganga secara tiba-tiba. Seperti berteriak tapi tanpa suara. Kemudian saya disergap rindu."

Satu-satunya hal yang menguatkan saya: karena saya meyakini seluruh takdir ini adalah kehendak-Nya. Penulis skenario terbaik tidak mungkin salah. Tidak mungkin pula ingkar walau satu huruf pun atas semua janjiNya. Lagi pula, untuk kali ini Tuhan tidak lagi menolong mama saya melalui perantara tangan manusia. Tuhan menolong mama saya langsung dengan mengirimkan malaikat-Nya untuk menjemput mama saya. Meskipun berarti saya, bapak dan adik harus menjadi pihak yang ditinggalkan.

Sehari, dua hari, seminggu, sebulan, dua bulan, satu tahun masih sama sesaknya seperti hari dimana mama saya kembali kepada-Nya. Harus saya akui saya belum ikhlas saat itu meskipun mungkin hingga kini pun sama. Saya selalu membuat sungai kecil di pipi setiap kali saya menghadap-Nya. Menyampaikan seluruh kerinduan pada mama semata wayang saya dalam doa.

Karena memang tidak ada lagi yang bisa saya lakukan selain terus membawa namanya dalam doa. Dan saya benci pada diri saya sendiri yang belum bisa berhenti bertanya ‘mengapa?’ Mengapa? Mengapa harus mama saya? Mengapa harus secepat ini? Mengapa Engkau tidak memberinya kesempatan lebih?

Bukankah dia berhak mendapatkan banyak hal Tuhan? Bukankah mama saya punya kesempatan lebih banyak dari siapapun? Engkau sungguh tahu ada banyak hal yang masih ingin mama saya lakukan untuk saya, bapak dan adik. Mengapa Engkau tega merenggut seluruh kesempatan itu? Ya Tuhan dan masih banyak lagi mengapa yang lainnya. Saya tidak tahu bagaimana definisi ikhlas, sungguh. Saya juga tidak tahu bagaimana cara terbaik untuk menerima semua ini.

Susah payah saya membujuk diri saya berdamai dengan keadaan. Susah payah saya berdiri setelah salah tumpuan saya ambruk. Mengumpulkan sisa-sisa kewarasan untuk melanjutkan hidup. Dan menemukan cara agar saya berhenti bertanya mengapa. Sungguh, sungguh saya tidak pantas menanyakan banyak hal Tuhan. Saya terlalu bebal untuk memahami banyak hal. Menanyakan dimana letak titik keadilan atas kehilangan ini. Mempertanyakan takdir yang begitu saja menghantam saya tanpa memberi aba-aba.

Begitu setiap hari meskipun saya terlihat seolah baik-baik saja. Saya terlihat baik-baik saja agar saya tidak 'dikasihani' oleh siapapun. Dan agar tumpuan saya yang masih ada juga tetap baik-baik saja. Betapa saya harus benar-benar bersyukur karena saya dilahirkan di tengah keluarga yang begitu bersahaja. Di tengah keluarga yang begitu kaya di atas segala kesederhanaan.

Lihatlah bapak dan adik, setelah semua yang mereka usahakan, setelah semua usaha demi kesembuhan mama, Tuhan malah memanggil kembali mama saya. Tapi mereka menerimanya, penerimaan yang tulus. Meskipun mungkin mereka juga sama sesaknya seperti saya tapi tidak pernah sekalipun ditunjukkan di depan saya. 

Saya berjanji bahwa saya akan baik-baik saja demi mereka. Demi semua mimpi mama saya yang sudah dititipkan kepada saya. Dan demi Tuhan semesta alam yang selalu berbaik. Tiga belas oktober nanti adalah tepat satu tahun kembalinya mama saya kepada-Nya. Saat saya menulis ini saya sedang didekap rindu yang teramat kepada mama saya. Tapi sungguh saya sudah berhenti bertanya mengapa.

Meskipun dalam beberapa kesempatan saya masih berandai, "jika saja…". Tapi ah sudahlah lazimnya pihak yang ditinggalkan memang banyak mempertanyakan. Saya masih memerlukan seluruh sisa hidup saya untuk benar-benar menemukan makna ‘ikhlas’. Meskipun mungkin saya tidak akan pernah tahu dan saya memang terlalu tumpul untuk benar-benar memahaminya, semoga Tuhan senantiasa berbaik menjawab apa yang selalu saya pertanyakan. Sampai di akhir kalimat tulisan ini, sungguh saya hanya merindukan mama saya.

Tanpa bermaksud lagi untuk mempertanyakan. Dan sebagai penutup, ijinkan saya kutip kata-kata ini dari buku salah satu penulis favorit saya. Buku yang juga sedikit banyak membuka mata hati dan otak saya tentang ikhlas, kerelaan, dan kehilangan.

"Kau tau, hampir semua orang pernah kehilangan sesuatu yg berharga miliknya, amat berharga malah. Ada yang kehilangan sebagian tubuh mereka, cacat, kehilangan pekerjaan, kehilangan anak, orang tua, benda-benda berharga, kekasih, kesempatan, kepercayaan, nama baik, dan sebagainya dalam ukuran tertentu, kehilangan yang kau alami mungkin jauh lebih menyakitkan. Tetapi kita tidak sedang membicarakan ukuran relatif lebih atau kurang. Semua kehilangan itu menyakitkan."

Apapun bentuk kehilangan itu, ketahuilah, cara terbaik untuk memahaminya selalu dari sisi yg pergii!!! Bukan dari sisi yg ditinggalkan. Kalau kau memaksakan diri memahaminya dari sisimu, maka kau akan mengutuk Tuhan, hanya mengembalikan masa-masa gelap itu. Bertanya apakah belum cukup penderitaan yang kau alami! Bertanya mengapa Tuhan tega mengambil kebahagiaan orang-orang baik, dan sebaliknya memudahkan jalan bagi orang-orang jahat. Kau tidak akan pernah menemukan jawabannya, karena kau dari sisi yang ditinggalkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kembali Tersenyum

Sosok Yang Aku Tunggu

Titik Akhir Berpasrah: Aku Pamit