Aku Harus Tetap Hidup
Kesepian dan sendiri adalah teman hidupku sehari-hari. Bertahun-tahun saya merasakan trauma yang begitu tak kunjung reda justru malah menambah, yang membuat saya hanya berdiam diri di kamar tanpa melakukan aktivitas apapun. Melamun di tengah gelap. Menangis. Memikirkan hal-hal di luar nalar yang membuat saya menyesal untuk dilahirkan.
Saya sudah terlalu lelah menghadapi kesendirian dan kesepian saya selama ini. Karena itu, sepertinya mati adalah solusi terbaik, toh mati hanya perkara waktu bukan? Pada sebagian orang yang ingin mati, mereka seringkali menyakiti diri mereka dengan mensilet bagian tubuhnya, saya tidak bisa begitu. Saya merasa terlalu takut jika harus melihat darah mengalir dari tubuh saya. Kemudian saya memilih untuk tidak makan berminggu-minggu atau membenturkan kepala saya ke tembok ketika saya ingin mati. Tapi, nyatanya saya tidak mati-mati. Saya lelah.
Karena keinginan saya untuk mati yang begitu besar, saya kemudian menarik diri dari lingkungan saya. Bisa dibilang saya cukup punya banyak teman sejak SD, SMP, SMK, KULIAH tapi entah karena saya sendiri senang menyendiri. Saya merasa makin sedikit teman saya saat ini, saya bisa pergi ke mana-mana sendiri dan saya terlalu takut untuk berkerumunan. Saya butuh teman, tapi dari sekian banyak teman saya, tidak ada 1 pun yang bisa diajak kerjasama. Lagi dan lagi, akhirnya saya senang sendirian kemanapun pergi. Saya memiliki pandangan menyebalkan yang mana membuat saya enggan untuk bercerita dan curhat dengan orang lain.
Pandang-pandangan seperti itu yang kemudian membuat saya sering berpura-pura dan menahan semua luka yang hingga saat ini masih sangat membekas di hidup saya. Luka yang sudah terlalu busuk dan akan sulit sekali untuk kering. Saya tidak bisa dengan mudah membagi hidup saya dengan orang lain, karena saya tau di saat-saat seperti ini saya tetap sendirian.
Suatu hari ada yang merekomendasikan saya ke seorang psikolog untuk dijadikan pasiennya. Entah kenapa saya menerima dan mengiyakannya, disini saya diberi terapi saya merasa lebih baik untuk beberapa saat. Saya merasa setidaknya ada yang mendengarkan saya tanpa memberikan komentar.
Tapi entah kenapa, saya ingat sekali, psikolog saya pernah menyarankan saya untuk berdzikir jika sulit tidur atau setidaknya mendengarkan ayat suci Al-Quran karena saya muslim. Kebetulan rumah saya depan masjid setiap malam, saya selalu mendengarkan bacaan Al-Quran dari toa masjid. Lantas apa yang terjadi? Saya justru selalu menangis meraung-raung. Saya seolah berada dalam peti yang sempit dan gelap. Kesepian, sendirian, sesak, sempit.
Entah apa yang membawa pikiran saya kembali. Saya hidup dan tiba-tiba mensyukuri bahwa saat ini banyak hal dalam hidup saya telah saya raih. Saat saya sedang ‘normal’ saya merasa ya ya sudah tidak apa-apa kamu sakit, kamu punya penyakit mental toh tidak apa-apa, nyatanya sejauh ini kamu bisa kok, kamu survive. Kemudian, sampai detik ini, saya bertahan dan menikmati hidup saya dengan mantra ‘yaudah, nggak apa-apa’ keinginan untuk mati bisa sambil kamu nikmati, nanti mati ada waktunya, ada masanya, tunggu dulu, sabar. Meski terkesan menikmati kesakitan, ya tidak apa-apa bagi saya, toh ya saya sendiri yang merasakannya. Setidaknya, sambil menunggu mati, ada banyak hal yang bisa saya lakukan.