Menanti Bahu Untuk Bersandar

Kadang aku iri melihat orang-orang di sekitarku. Mereka duduk bersama teman-temannya, tertawa, melihat bintang, berbagi cerita. Sementara aku… aku cuma bisa bertanya-tanya, "Tuhan, adakah satu orang yang Kau simpan untukku di luar sana?"

Saat depresi datang lagi, rasanya aku cuma butuh satu hal: hati yang benar-benar mau mendengarkan. Tapi, apakah ada seseorang yang benar-benar mengerti?

Aku sering terlihat ceria, penuh tawa. Teman-temanku selalu bilang aku orangnya seru, mudah diajak ngobrol. Tapi, sejujurnya, itu cuma caraku menyembunyikan semua rapuh di dalam. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku tertawa dari hati, bukan sekadar untuk menghibur diri sendiri.

Hidupku sebenarnya ramai. Ada banyak teman yang bercerita, berbagi kisah. Tapi anehnya, aku merasa kosong. Nggak ada satu pun dari mereka yang benar-benar tahu ceritaku. Kadang aku cuma butuh satu pelukan hangat. Bahu untuk bersandar. Tapi, kapan ya giliran aku?

Mungkin aku nggak pernah benar-benar bicara, karena aku tahu nggak semua orang peduli. Kadang aku merasa mereka cuma ingin tahu, bukan benar-benar ingin memahami. Rasanya nggak adil, tapi aku juga nggak bisa menyalahkan mereka.

Saat rasa sakit dari masa lalu datang lagi, aku hanya bisa menangis diam-diam, di depan cermin. Setelah itu, aku mencoba terlihat baik-baik saja, meski dalam hati aku hancur. Pernah terpikir untuk menyerah, tapi aku sadar, itu bukan jalan keluar.

Aku tahu aku nggak bisa terus begini. Aku berusaha membuka diri, mencoba tertawa lebih tulus, bahkan di tengah luka. Aku sadar, aku nggak bisa terus menutupi semuanya sendirian.

Tuhan pasti punya rencana. Mungkin, suatu hari nanti, Dia akan mengirimkan seseorang untuk jadi bahuku bersandar. Tapi sampai saat itu tiba, aku akan terus belajar. Menjadi lebih kuat. Lebih dewasa.

Karena hidup nggak selalu tentang mencari kebahagiaan. Kadang, kita harus belajar menikmati prosesnya—bahkan saat rasanya berat. Siapa tahu, apa yang selama ini aku cari ternyata selalu ada di dekatku, aku saja yang belum menyadarinya.

Sampai saat itu tiba, aku akan terus berjalan, meski tertatih. Sebab, aku yakin, setiap luka punya alasannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kembali Tersenyum

Sosok Yang Aku Tunggu

Titik Akhir Berpasrah: Aku Pamit