Menutup Halaman

Berpisah adalah hal yang sangat menyakitkan. Ini adalah keadaan yang tak pernah kita harapkan dan selalu kita hindari. Termasuk berpisah denganmu, yang telah mengisi hari-hariku selama ini. Kejadian hari itu membuatku sangat terpukul, tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Entah berapa banyak air mata yang telah kukeluarkan, seberapa kencang aku berteriak, seberapa kuat aku bertahan dan berharap agar kita tidak berpisah.

Rasa ini begitu berat, terutama karena aku merasa sudah menganggapmu sebagai bagian dari keluarga dan hidupku. Hari-hariku terasa sangat berat dan dipenuhi dengan bayang-bayang kehadiranmu. Namun, seiring berjalannya waktu, aku menyadari bahwa dari perpisahan ini, aku belajar banyak hal. Sekuat apapun aku menggenggam, jika sesuatu tidak ditakdirkan untukku, pasti akan terlepas. Sekencang apapun aku mengejarnya, jika ia bukan milikku, pasti akan kehilangan jejak. Sebaik apapun aku menjaga dan merawatnya, jika ia bukan yang terbaik untukku, pasti akan hilang juga.

Aku juga belajar untuk menerima dan mengikhlaskan apa yang sudah digariskan untukku, meskipun tidak mudah. Karena hanya dengan mengikhlaskan apa yang sudah terjadi, lukaku bisa membaik dan perlahan menjadi sembuh. Aku belajar bersabar dan lebih bersabar lagi ketika yang terjadi tak sesuai harapan. Dari bersabar, aku memperoleh ketenangan. Aku juga belajar untuk merelakan apa-apa yang telah hilang dari genggaman dan bukan takdirku. Ternyata, dengan merelakan, aku memperoleh ganti yang lebih baik dari sebelumnya, bahkan aku tidak pernah menduganya.

Tentangmu yang telah menggoreskan luka, aku sudah tak peduli lagi. Ternyata setelah merelakanmu, aku mendapatkan banyak kebahagiaan. Luka darimu juga sudah tak terasa lagi sakitnya. Dari merelakanmu, aku kembali menemukan diriku sendiri dan mengembangkan diri sesuai dengan passion-ku. Hidupku tanpamu jauh lebih berwarna. Aku sadar bahwa selama ini aku salah menilaimu. Aku pikir kamu adalah pelangi yang memberi warna setelah awan gelap, tapi ternyata kamu hanyalah badai yang hadir sesaat namun menghancurkan. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan, karena dengan cepat Dia menjauhkanmu dariku sebelum aku semakin tersakiti.

Yah, berpisah memang sakit. Namun, akan lebih sakit lagi jika kita mencintai seseorang yang bukan takdir kita. Dia yang telah pergi entah dengan pamit atau tidak, relakan saja. Merelakan memang butuh waktu. Tetapi setelah bisa merelakan, kebahagiaan dan apa yang menjadi takdir akan menghampiri kita.

Bagiku tidak ada pengulangan untuk seorang pengecut, apalagi dia yang pergi tanpa pamit, meninggalkan luka yang jelas perih, dan kembali saat aku beranjak pulih. “Kamu hanya akan membuang-buang waktuku,” ujarku. Bertemu denganmu bukan berarti aku ingin kamu kembali. Ini hanya sebuah pembuktian bahwa aku telah beranjak pulih dan kini aku sudah baik-baik saja tanpamu. Selamat tinggal!

Berawal dari tatap, aku memulai perjalanan yang panjang dengan segala risiko. Awalnya aku tak mau mempermainkan hatiku sendiri, namun perjalanan rasa ini kepadamu membuat aku terbuai. Aku bahagia karena kamu datang dalam hidupku. Banyak hal yang bisa aku lakukan berkatmu. Kamu memberiku kesempatan untuk merasakan apa yang selama ini aku inginkan. Aku bisa mencintai seseorang dengan caraku sendiri tanpa perlu menjadi orang lain.

Namun, ada keraguan besar dalam hatiku. Aku sering berpikir jika perasaanmu nyata atau hanya harapan yang tak pasti. Semua perhatian dan perlindunganmu, apakah itu hanya untuk mempermainkan hatiku? Di akhir cerita, aku akhirnya tahu bahwa selama ini tak ada rasa yang pasti darimu untukku. Mungkin memang benar keraguan besar yang ada di hatiku selama ini. Aku telah menemukan jawabannya dan kini aku tahu harus seperti apa.

Kali ini, aku memutuskan untuk pamit darimu. Aku tidak bisa lagi mempertahankan rasa ini karena aku sadar kamu belum bisa membuka hati untukku, dan aku menghargai itu. Masih ada harapan untuk kita, tapi mungkin tidak denganmu. Kita telah menghabiskan banyak waktu bersama, dan aku ingin kita tetap seperti ini. Namun, aku harus menghadapi kenyataan bahwa aku harus berpisah darimu, mungkin untuk sementara waktu, tapi bisa juga untuk selamanya.

Walaupun aku tahu posisiku, tidak salahkah aku berharap agar kita selalu bersama? Haruskah kepergianmu menyisakan perih seperti ini? Sadarkah kamu betapa beratnya kepergianmu untukku? Walaupun aku sudah bersiap diri untuk kehilanganmu, haruskan kamu pergi secara mendadak seperti ini, di saat masih banyak hal yang ingin kita lakukan bersama?

Terima kasih telah hadir dalam hidupku dan memberikan pelajaran yang teramat dalam dan sulit untuk aku lupakan. Aku bersyukur kamu pernah menggoreskan cerita bersamaku. Sekarang, aku berjanji pada diri sendiri untuk menjalankan pesan darimu: “Jika kamu menikah, cintailah suamimu sebagaimana dulu kau mencintaiku.” Selamat tinggal, dan semoga kamu menemukan kebahagiaan yang pantas untukmu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kembali Tersenyum

Sosok Yang Aku Tunggu

Titik Akhir Berpasrah: Aku Pamit