Sebelum Kau Lahir

Sebelum kau lahir,
kau bukan siapa-siapa.
Hanya setitik cahaya yang duduk diam di barisan takdir,
menunggu giliran diturunkan.

Lalu datang suara yang tak bisa ditolak—
mengajukan 77 pertanyaan.
Bukan untuk menguji,
tapi untuk mengingatkan,
siapa dirimu nanti,
dan apa tujuanmu turun ke bumi.

“Bersediakah kau melepaskan ingatan tentang siapa dirimu sesungguhnya?”
“Bersediakah kau mencintai mereka yang kelak bisa saja melukaimu?”
“Bersediakah kau dilupakan, disesatkan, disakiti… dan tetap pulang tanpa dendam?”
“Bersediakah hidup di dunia yang lupa bahwa ia hanya sementara?”

Satu per satu pertanyaan itu turun,
tentang tanggung jawab,
tentang cinta,
tentang luka,
tentang ego,
tentang keadilan yang akan kau pertanyakan,
dan tentang Tuhan,
yang akan kau cari... dalam gelap.

Hingga akhirnya, kau ditanya:
“Apakah kau tahu kenapa kau diciptakan?”

Dan ruhmu menjawab,
bukan dengan kata-kata,
tapi dengan getaran yang nyaris tak terdengar:
“Karena bumi sedang sekarat.”
“Karena ada luka yang hanya bisa disembuhkan olehku.”
“Karena ada kebaikan yang tak akan pernah lahir tanpaku.”

Lalu pertanyaan terakhir:
“Bersediakah kau menanggung rindu pada tempat asalmu?”

Kau pun ragu.

Tapi Tuhan meniupkan sesuatu ke dalam dadamu.
Sesuatu yang kelak dinamai: hati.
Tempat segala tanya akan bermuara kembali.
Tempat semua jawaban akan kau cari dalam perih dan pengharapan.

Dan sebelum kau turun,
Tuhan membisikkan satu kalimat terakhir ke ragamu:

“Jangan pernah lupa—bukan dunia yang memilihmu… tapi Aku.”

Maka kau pun diturunkan.
Dengan lupa.
Dengan rindu.
Dengan rapuh.
Membawa rahasia,
yang Tuhan sembunyikan darimu:
bahwa semua luka, cinta, kehilangan—
adalah bagian dari 77 pertanyaan
yang sedang kau jawab…

Dengan hidupmu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kembali Tersenyum

Sosok Yang Aku Tunggu

Titik Akhir Berpasrah: Aku Pamit