Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2025

Diriku Yang Hilang

Aku pernah mengenal diriku, seseorang yang penuh cahaya, penuh keyakinan. Tapi kini, aku hanya bayangan samar yang tersesat di antara waktu dan perasaan. Aku mencari diriku di cermin, di kenangan, di tawa yang dulu begitu lepas. Tapi yang kutemukan hanyalah hampa, seperti rumah yang ditinggalkan tanpa jejak. Hari-hari berjalan seperti angin, melewatiku tanpa benar-benar menyentuh. Aku berdiri di antara orang-orang, tersenyum seperti biasa, tapi di dalam dadaku ada ruang kosong yang semakin melebar. Aku ingin kembali menjadi aku, tapi entah bagaimana caranya. Seakan ada sesuatu yang lepas, sesuatu yang tak bisa kudapatkan lagi, meski aku terus mengulurkan tangan. Mungkin aku belum benar-benar hilang. Mungkin aku hanya tersesat, menunggu seseorang atau mungkin diriku sendiri, untuk menemukanku kembali. Dan sampai saat itu tiba, aku akan terus berjalan, meski dengan langkah yang goyah, meski tanpa tahu kapan aku akan benar-benar pulang.

Aku, Kamu dan Takdir

Perihal rasa dan takdir yang menggiring langkahku, hanya Tuhan yang tahu ke mana arah akhirnya. Entah kau akan tetap di sini, atau waktu akan merenggutmu dariku. Aku hanya ingin menyelami hatimu sedalam mungkin, mencintai tanpa batas, dan memperjuangkan debar yang kau titipkan dalam atma ini. Aku yakin kau tahu, kaulah yang ingin kuajak menjelajahi cakrawala, menggenggam tanganku di setiap persimpangan, dan menetap dalam dekap yang tak berkesudahan. Walau kadang aku merasa kita seperti bumi dan langit—berjarak dan tak mungkin menyatu—aku tetap ingin mengusahakan nya. Karena cinta yang sungguh tak akan goyah oleh jarak ataupun waktu. Aku akan rapuh jika kehilanganmu. Sebab di awal aku jatuh, aku tak ingin. Maka aku punya alasan yang sama untuk tetap bertahan: karena aku tak pernah ingin kehilanganmu. Aku mencintaimu sejak hari itu, aku masih mencintaimu di hari ini, dan aku akan terus mencintaimu di esok hari—sampai hari di mana aku tak lagi mengingat hari-hari itu. Mungkin sesekali kau...

Luka Dalam Diam

Tidak semua luka berteriak. Beberapa memilih diam, bersembunyi di balik senyum, di antara tawa yang terdengar biasa. Mereka tidak meminta perhatian, tidak menangis di hadapan dunia. Tapi di dalam dada, mereka tumbuh diam-diam, mengakar tanpa suara, menyakitkan tanpa terlihat. Aku membawa luka-luka itu ke mana pun aku pergi, seperti bayangan yang tak bisa kutinggalkan. Orang-orang melihatku baik-baik saja, mungkin bahkan tampak bahagia. Tapi mereka tidak tahu, ada bagian dari diriku yang rapuh—kepingan yang terus kubawa, tanpa tahu cara memperbaikinya. Mungkin suatu hari nanti, luka ini akan memudar, tak lagi menyelip di antara nafasku. Mungkin aku akan menemukan seseorang yang tak hanya melihat senyumku, tapi juga merasakan gemetar halus di dadaku. Atau mungkin, aku harus belajar berdamai—bukan untuk menghapus luka, tapi untuk menerima bahwa mereka adalah bagian dari cerita yang membentukku hari ini.